DI tengah serbuan makanan asing terutama western (Eropa dan Amerika) serta Korea dan Jepang, tampaknya makanan tradisional bisa bertahan dan tetap disuka.
Buktinya, stand makanan "Jangan Ndeso" dalam Solo Indonesia Culinary Festival (SICF) 2018 banyak diburu pengunjung. Mereka yang datang dari jauh itu kangen makanan "sega gudangan", sayur "rambak tahu", sayur "tumpang", dan lain sebagainya.
Tak jauh dari situ, banyak pengunjung, terutama anak muda, menikmati sate kere. Sensasi cara membakar sate sendiri, aroma yang khas, serta rasa yang unik mengundang selera untuk menikmati sate kere yang barbahan baku gembus, yakni ampas kedelai setelah dibikin tahu. Sebelum disantap, atau bahkan saat dibakar, sate itu difoto dan diunggah di instagram.
Di luar "jangan ndesa", dan sate kere, makanan tradisional khas Solo lainnya juga dipadati pengunjung. Seperti tengkleng, soto, gedeg ceker, dan sego (nasi) liwet juga dirubung pengunjung.
"Saya baca di literatur, sate kere di Solo itu enak dan penggemarnya banyak. Makanya saya coba dan ternyata enak," kata salah satu pengunjung, Doni, yang datang bersama pacarnya.
Karim, pemilik gudeg ceker "Bu Wiryo" mengatakan, minat masyarakat untuk menikmati kuliner tradisional khas Solo makin banyak dan meningkat. Selain orang Solo, sebagian besar adalah pelancong atau wisatawan. "Apalagi di musim liburan, omsetnya meningkat berlipat lipat," katanya.
Dalam festival kuliner yang berlangsung selama empat hari itu, 12-15 April di parkir selatan Manahan Solo, panitia menyediakan 170 stan. Rinciannya, 140 stan kuliner atau makanan dan minuman serta jajanan pada umumnya, 30 stan makanan tradisional dari para pelaku UMKM. Selain dari Solo, makanan itu juga dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, bahkan luar Jawa.
Selain memajang berbagai jenis makanan, baik modern maupun tradisional, dan demo dapoer tempo doeloe, festival juga dimeriahkan berbagai kegiatan. Seperti, food photography, barista fest, fruit carving, handling tray, menghias tumpeng mini, serta Kampoeng President Culinary Famtrip. Dalam Kampoeng President Culinary Famtrip peserta diajak berkeliling ke kampung-kampung untuk melihat asal usul sejarah makanan lawasan (tradisional) serta cara memasak dan penyajian. Termasuk ke dapur "gondoroso" yang menjadi tempat memasak makanan bagi para raja dan tamu raja.
"Tujuan dari penyelenggaraan Solo Indonesia Culinery Festival 2018 ini sebagai sarana edukasi, apresiasi, dan konservasi kuliner khas nusantara, selain sebagai ajang promosi. Festival ini juga sebagai pengukuhan bagi Solo sebagai kota kuliner di Indonesia," kata Daryono, direktur utama sinergi event sekaligus ketua panitia SICF 2018, di sela pembukaan.
Dalam sambutannya, Wali Kota FX Hadi Rudyatmo mengatakan, kunjungan wisatawan untuk menikmati kuliner di kota bengawan tidak akan pernah berhenti meski jalan tol Semarang-Solo-Ngawi memungkinkan orang-orang yang melintas tidak singgah di Solo. Namun Rudy tetap optimistis Solo akan tetap menjadi tujuan wisata kuliner karena harga murah san banyak pilihan kulinernya.
Wali kota mengatakan, agar saat puasa menjelang Lebaran pemudik tetap singgah di Kota Solo, Pemkot sejak dini mulai mempersiapkan kemudahan akses infrastruktur dari jalan tol menuju destinasi. Selain itu, event-event pariwisata juga dipersiapkan lebih menarik sebagai salah satu daya tarik orang berkunjung ke Solo. "Saya mengingatkan para pelaku atau pegiat kuliner agar terus berkreasi dalam mengemas dan memasarkan produk kuliner dengan baik serta menjaga kepastian harga agar wisatawan tidak kecewa," katanya.
(Langgeng Widodo /SMNetwork /CN41 )
http://www.suaramerdeka.com/news/detail/23357/Makanan-Tradisional-Tetap-DisukaBagikan Berita Ini
0 Response to "Makanan Tradisional Tetap Disuka"
Post a Comment